Desanesia– Dengan berkembangnya teknologi, eksploitasi seksual berpindah ke ruang virtual atau dalam jaringan. Teknologi dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan seksual untuk memunculkan tren baru kejahatan seksual, khususnya pada anak.
Ecpat Indonesia mengadakan kegiatan media breafing yang dilaksanakan secara virtual (zoom), dengan tema “Melangkah Bersama Melindungi Anak”, Jumat, (29/12). Ahmad Sofian selaku Koordinator Ecpat Indonesia dalam media breafing menerangkan situasi global tentang kejahatan eksploitasi anak.
Dalam kesempatan itu, Ia menjelaskan data kekerasan dan pelecehan seksual yang dikeluarkan oleh Internet Wacth Foundation.
“Internet Wacth Foundation pada tahun 2022 mengeluarkan data yang kemudian diperkuat dengan data yang diterbitkan mereka pada tahun 2023 yakni terdapat 255.571 kasus yang dilaporkan tentang kekerasan seksual anak di ranah daring di seluruh dunia,” paparnya.
Konten yang dilaporkan tersebut berasal dari situs-situs yang menampilkan gambar dan video pelecehan seksual, artinya ada sejumlah anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual yang kemudian tercatat oleh Internet Watch Foundation.
Lalu, Ahmad Sofian menerangkan saat ini jumlah pelaporan konten kekerasan dan pelecehan seksual terbanyak di dunia adalah negara Belanda, yang artinya kesadaran masyarakat disana cukup tinggi.
“Kita lihat dari penyebarannya, Belanda merupakan negara dengan jumlah pelaporan dengan konten kekerasan dan pelecehan seksual anak terbanyak di dunia. Jumlahnya setara dengan 32% dari seluruh konten terkait yang tersebar secara global. Bisa jadi bukan karena kasusnya yang banyak tetapi ada kesadaran tinggi di masyarakat Belanda,” terangnya.
Terakhir, Ia merekomendasikan beberapa poin penting untuk mengurangi eksploitasi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
“Poin pentingnya, pertama bagaimana kita bisa segera menyiapkan perangkat hukum untuk bisa menanggulangi konten-konten yang menyebar secara daring. Kedua, bagaimana penyelenggara sistem elektronik agar memiliki kemampuan dalam mengenali konten-konten yang mengandung pencabulan dan memiliki kebijakan untuk melakukan penghapusan tanpa harus diminta oleh siapapun, sepanjang konten tersebut mengandung kekerasan seksual, pencabulan ataupun pornografi,” tutup Ahmad Sofian. [nfa]