Desanesia.id-Bangsa-bangsa di Asia memiliki banyak kesamaan yang ditempa perjalanan sejarah yang begitu panjang. Ini adalah modal besar untuk mencapai masa depan bersama. Namun masa depan bersama itu hanya dapat diwujudkan bila ditopang sikap saling menghormati dan kesediaan memberikan ruang tumbuh bagi perkembangan sesama bangsa Asia.
Demikian antara lain disampaikan Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) ketika berbicara dalam China-Indonesia Media Forum 2023 yang diselenggarakan di Hotel Shangri La, Jakarta, Rabu (15/11).
Forum bertema “Jointly Promoting High-Quality Belt and Road Cooperation, Building the China-Indonesia Community with a Shared Future” itu dibuka Duta Besar Republik Rakyat China, Lu Kang, dan dihadiri tokoh pers dari kedua negara.
Selain Teguh, pembicara lain dari Indonesia adalah Ketua Forum Pimred Arifin Asydhad, Pimred LKBN Antara Irfan Junaidi, Direktur Sekolah Jurnalistik Indonesia (SJI) PWI Ahmed Kurnia, Kepala Seksi Produksi TVRI Andi Asrul Sani Fauzan, dan Pimred Jakarta Post Taufiqurrahman.
Adapun pembicara dari China antara lain adalah Wakil Presiden Asosiasi Diplomasi Publik China Hu Zhengyue, Mantan Wakil Menteri Luar Negeri Kong Xuanyou, Peneliti Senior pada Academy of Contemporary China and World Studies (ACCWS) Wang Gangyi, Asisten Pimred Xinhua Liu Hong, dan Editor Eksekutif Global Times Online Shi Ding, serta Editor Senior Guancha.cn Wang Hui.
Saat menerima undangan untuk berbicara mengenai masa depan bersama Asia sebagai dampak dari penguatan kerja sama Indonesia dan China, Teguh mengatakan dirinya teringat pada sebuah buku yang berjudul “When Asia was the World” yang ditulis sejarawan dan pakar Asia dari Universitas Michigan, Stewart N. Gordon, pada tahun 2007.
“Merujuk pada buku itu, dan karya-karya lain, kita dapat memastikan bahwa bangsa-bangsa Asia telah terbiasa berbagi pengalaman di masa lalu. Buku ini menjelaskan proses pertukaran gagasan dan narasi besar antar bangsa dan masyarakat Asia ketika Jalur Sutra menjadi jalur penghubung utama di kawasan. Cendekiawan, tokoh agama dan ulama, pedagang, dan politisi, semuanya melintasi Jalur Sutra klasik, dan perlahan tapi pasti membangun nilai-nilai bersama di antara negara-negara Asia,” urai dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Dia menambahkan, adalah masa lalu bersama (shared-past) yang membawa Asia, khususnya Indonesia dan Republik Rakyat China, pada situasi saat ini dimana permasalahan dunia semakin kompleks, dan di saat bersamaan ruang dan waktu dimampatkan oleh perkembangan teknologi komunikasi dan informasi.
“Jadi, dengan memahami masa lalu dan sejarah bersama, nilai-nilai dan budaya bersama di antara kita, kita dapat lebih yakin bahwa Indonesia dan Tiongkok, serta negara-negara Asia lainnya, akan memiliki masa depan yang sama,” terangnya.
Meski demikian, Teguh merasa dirinya perlu mengingatkan bahwa hal itu tidak terjadi begitu saja. Upaya bersama ini harus sitopang sikap rasa saling menghormati dan kemauan memberikan peluang bagi perkembangan sesama negara Asia.
Model Pembangunan Asia
Pada bagian lain, Teguh menjelasakan bahwa salah satu catatan awal mengenai kebangkitan Asia adalah semangat dekolonisasi yang diungkapkan secara tegas pada Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955.
“Spirit Bandung”, katanya, telah memberikan kesempatan kepada bangsa-bangsa Asia untuk bangkit dan mengembangkan diri agar bisa sejajar dengan bangsa-bangsa dari belahan dunia lain yang sudah cukup lama menduduki dan menempatkannya pada titik nol peradaban.
“Kita telah menyaksikan model pembangunan yang terjadi di Jepang pada akhir tahun 1950an. Begitu pula di Korea Selatan pada tahun 1970an dan 1980an. Ada juga model Singapura, model Malaysia. Dan tentunya model Indonesia yang tercatat sebagai salah satu macan Asia yang menjanjikan saat itu,” jelas Teguh, sambil menambahkan krisis ekonomi Asia yang terjadi pada tahun 1997 dan 1998 meruntuhkan sebagian dari model tersebut.
Di era 2000an, masyarakat dunia menyaksikan kebangkitan model pembangunan China yang begitu impresif dan pantas disebut sebagai keajaiban.
“Kemampuan dan keberhasilan Tiongkok dalam mengkonsolidasikan seluruh potensinya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam, berhasil mengubah tantangan demografi menjadi bonus demografi,” tandasnya.
Kunci keberhasilan itu adalah industrialisasi yang dilakukan dengan sangat serius dan terukur. Penyerapan maksimal tenaga kerja usia produktif berhasil mendongkrak pertumbuhan ekonomi China hingga dua digit selama bertahun-tahun. Kerja keras yang dilakukan pada dekade emas itu membuahkan berbagai kemajuan yang kini kita saksikan.
Dia juga menyatakan, China tidak hanya berhasil mengembangkan dirinya sendiri, namun juga berupaya menghidupkan dan mengembangkan negara-negara Asia lainnya.
Gagasan dan praktik Jalur Sutra baru yang diperkenalkan Presiden Xi Jinping pada awal pemerintahannya merupakan tanda jelas dari keinginan dan komitmen tersebut. [rah]
Sumber: mediasiber.id