Desanesia.id- Dewan Pers memastikan akan terus mengawal pembahasan rencana Peraturan Presiden terkait publisher rights dan good journalism yang masih berada pada tahap harmonisasi di tingkat Kementerian dan Lembaga pemerintah.
Dewan Pers ingin memastikan bahwa isi rencana Perpres itu sejalan dengan semangat kemerdekaan pers yang terkandung di dalam UU 40/1999 tentang Pers dan di saat bersamaan memberikan keadilan kepada pihak publisher yang memproduksi karya pers manakala berhadapan dengan platform digital global seperti Google, Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram.
Demikian antara lain ditegaskan Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu dalam pertemuan dengan pimpinan konstituen Dewan Pers di Gedung Dewan Pers Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Jumat pagi (14/7).
Pertemuan dihadiri delapan dari sebelas konstituen Dewan Pers. Konstituen Dewan Pers yang hadir adalah Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSIP), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Serikat Perusahaan Pers (SPS), Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Pewarta Foto Indonesia (PFI).
Dalam pertemuan itu, Ninik Rahayu didampingi empat anggota Dewan Pers lainnya, yakni Asmono Wikan, Arif Zulkifli, dan Atmaji Sapto Anggoro yang hadir di ruang pertemuan serta Asep Setiawan yang hadir secara virtual.
Menurut Ninik, draft rencana Perpres tersebut sudah difinalisasi bulan lalu di Kementerian Polhukam. Pekan ini, draft itu lembali dibicarakan dalam tahap harmonisasi yang hanya melibatkan Lembaga dan Kementerian.
Dewan Pers awalnya tidak dilibatkan dalam proses harmonisasi karena bukan merupakan lembaga pemerintah. Namun akhirnya Dewan Pers kembali dilibatkan karena di dalam draft tersebut bagaimana pun juga terkandung hal-hal yang terkait dengan kebebasan pers dan jurnalisme berkualitas.
Dalam kesempatan itu, Ninik juga menyampaikan kekhawatiran Dewan Pers atas sejumlah isu setelah draft Perpres difinalisasi Kementerian Polhukam dan kini kembali dibahas dalam proses harmonisasi di Kementerian Lembaga. Isu pertama terkait potensi hilangnya semangat kebebasan pers di dalam draft tersebut karena UU 40/1999 tidak dimasukkan dalam bagian konsiderasi rencana Perpres. Isu kedua terkait aspek kelembagaan bila komite yang melaksanakan substansi Perpres itu diletakkan di bawah Presiden.
“Kalau (pelaksana) Perpres ini betul-betul di bawah pemerintah, padahal distribusi konten di media sosial yang menggunakan platform, menggunakan algoritma, ada unsur pemberitaan, maka sebetulnya kita kembali seakan-akan sebelum lahirnya UU 40/1999,” ujar Ninik.
“Harus ada upaya membangun kondusifitas dari platform untuk ikut bertanggung jawab terhadap good journalism. Ini yang mereka (platform) paling keberatan,” tambahnya.
Ninik juga meminta agar pemerintah sungguh-sungguh dalam melakukan percepatan pembahasan Perpres ini, karena platform digital global seperti Google menggunakan pembahasan yang masih berlarut-larut sebagai alasan untuk tidak membayar kewajiban mereka pada perusahaan media.
Hal terakhir yang disampaikannya adalah pesan agar Perpres ini tidak terkesan hanya mengatur perdagangan periklanan.
Sementara Arif Zulkifli yang merupakan Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers mengingatkan agar upaya menyelamatkan perusahaan pers dalam hal bisnis dengan platform tidak menggerus dan mengeliminasi hal yang tidak kalah pentingnya, yakni kebebasan pers itu sendiri.
“Kita tahu bahwa kebebasan pers di Indonesia sangat baik dalam hal tidak ada intervensi politik secara langsung. Ini sangat berbeda dengan sebelum 1998 di mana pimred bisa ditelepon seorang kolonel. Ancaman berikutnya (saat ini) adalah pemberitaan bisa diatur oleh apa yang kita bicarakan di sini, yaitu platform digital,” ujarnya.
“Mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang menguntungkan dan tidak menguntungkan dalam tanda kutip dilakukan secara sukarela oleh media karena posisinya lemah di hadapan platform digital,” sambungnya.
Secara terpisah informasi yang diperoleh redaksi mengatakan, UU 40/1999 tentang Pers memang tidak dimasukkan ke bagian “mengingat” dalam rencana Perpres tersebut. Namun ini tidak berarti rencana Perpres tersebut mengabaikan kebebasan dan kemerdekaan pers.
Disebutkan, bagian “mengingat” dalam satu peraturan perundang-undangan memuat dasar hukum yang lebih tinggi yang memerintahkan pembentukannya. Adapun UU 40/1999 merupakan produk hukum yang tidak memiliki satu pun klausul yang memerintahkan pembentukan aturan di bawahnya.
Juga disebutkan bahwa perkembangan terakhir dalam proses harmonisasi rencana Perpres tersebut menempatkan komite pelaksana tidak berada di bawah Presiden, melainkan berada di bawah Dewan Pers.
Kemandirian Digital
Ketua Umum JMSI Teguh Santosa yang hadir langsung dalam pertemuan mengatakan, sikap JMSI sejalan dengan sikap Dewan Pers, yakni agar Perpres ini menjunjung semangat kebebasan dan kemerdekaan pers yang terkandung di dalam UU 40/1999.
“Tidak mungkin UU 40/1999 diabaikan, karena untuk membangun good journalism pangkalnya adalah itu. Saya juga setuju jangan sampai kita set back kembali ke masa yang lalu,” ujarnya.
Teguh juga menguraikan lebih lanjut bahwa persoalan utama yang dihadapi perusahaan pers yang tumbuh subur mengiringi perkembangan teknologi komunikasi dan informasi adalah ketiadaan partner ekonomi yang memadai. Platform digital global, sebutnya, hanya merupakan salah satu pihak yang dapat dijadikan partner untuk mendukung keberlangsungan hidup perusahaan.
Di daerah, sebutnya, kebanyakan perusahaan media siber mengandalkan kemitraan dengan berbagai lembaga pemerintah setempat untuk menopang pengembangan perusahaan pers. Hal ini pun melahirkan persoalan lain yang tidak kalah pelik.
Untuk itulah JMSI memiliki bidang khusus yang diberi nama Bidang Pengembangan Potensi Daerah, yang tugasnya membantu perusahaan media siber anggota JMSI di daerah membangun kemandirian.
Selain itu, untuk mendorong praktik good journalism, JMSI juga sedang mengembangkan platform sendiri yang menghimpun berita-berita dari perusahaan media siber anggota JMSI yang telah diverifikasi Dewan Pers secara administratif dan faktual. Platform bernama SemuaNews itu akan diluncurkan akhir bulan Juli ini.
Teguh juga mengatakan, bahwa persoalan platform digital global sebenarnya bukan persoalan Dewan Pers semata, melainkan persoalan bangsa dan negara.
Teguh juga mencontohkan keberhasilan Republik Rakyat China (RRC) menekan dan memaksa Google mengubah algoritma pencarian query Tiananmen sehingga tidak menampilkan peristiwa gerakan pro demokrasi bulan Juni 1989, melainkan menampilkan objek wisata di sekitar Lapangan Tiananmen dan Istana Terlarang di Beijing.
“Google ditekan oleh pemerintah China untuk mengubah algoritmanya kalau dibuka di China. Dan Google tidak mau kehilangan 1,3 miliar audiens, maka dia ikuti permintaan China. Jadi sebetulnya ini bukan perang antara Dewan Pers melawan platform global, menurut saya. Tapi ini persoalan negara punya kemandirian atau tidak?” demikian Teguh Santosa. [nfa]