Desanesia. Semua masyarakat memiliki kebebasan untuk ikut berpartisipasi dalam pesta demokrasi, baik dalam pemilihan umum (Pemilu) maupun pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Ada masyarakat yang berperan sebagai simpatisan dengan mengikuti sosialisasi, kampanye dan memberikan hak pilihnya dengan datang di TPS dan memilih salah satu calon/paslon.
Terdapat pula pihak yang berpedan sebagai pendukung dan tim kampanye, juga yang berperan sebagai peserta pemilu/pilkada. Namun, ada juga yang pihak yang dibatasi hak pilihnya seperti TNI/POLRI.
Dari berbagai komponen masyarakat dalam pemilu atau pilkada, ada beberapa kepala desa ikut serta berpartisipasi dalam politik praktis. Sehingga, muncul pertanyaan ditengah masyarakat, Apakah kepala desa bisa ikut dalam berpolitik?
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pada pasal 29 huruf (g) menyebutkan bahwa kepala desa dilarang menjadi pengurus partai politik dan pada huruf (j) dilarang untuk ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah.
Dari UU tersebut, kepala desa memiliki peran sebagai pihak yang netral. Dimana, kepala desa dilarang untuk ikut serta dalam politik praktis, tidak bisa menjadi pengurus politik atau anggota partai politik serta tidak dapat juga menjadi tim kampanye ataupun tim sukses peserta pemilu atau pilkada.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Pasal 280 ayat 2 huruf (h), (i), dan (j) juga menyebutkan pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan kampanye pemilu dilarang mengikutsertakan kepala desa, perangkat desa, dan anggota badan permusyawaratan desa (PBD).
Pada pasal 280 ayat 3 juga menekankan bahwa setiap orang sebagaimana disebut pada pasal 2 dilarang ikut serta sebagai pelaksana dan tim kampanye pemilu.
Adapun perangkat desa yang melanggar larangan dalam politik praktis maka dikenakan sanksi yang tertuang pada UU No. 6 Tahun 2014 pasal 30 disebutkan bahwa pada ayat 1, Kepala Desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis.
Lalu, pasal 30 ayat 2 menyebutkan dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud ayat 1 tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.
UU No. 7 Tahun 2017, pasal 490 juga menyebutkan setiap kepala desa atau sebutan lain yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta Pemilu dalam masa kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 12,000.000,- (dua belas juga rupiah).
Maka, dalam pemilihan kepala daerah dapat dikenai sanksi pidana bila terbukti melakukan pelanggaran dengan melakukan perbuatan atau tindakan yang mengarah keberpihakan kepada salah satu pasangan calon atau calon kepala daerah yang terindikasi merugikan calon lain, contohnya ikut serta dalam kegiatan kampanye. [nfa]