Desanesia. Konflik pertanahan terjadi dimana-mana dan acap menghiasi kolom-kolom media massa. Namun, keberadaan Bank Tanah justru sepi dari ulasan.
“Padahal, keberadaan Bank Tanah sangat berhubungan dengan upaya Pemerintah Republik Indonesia dalam mengeliminir konflik pertanahan,” ungkap Sekretaris Nasional (Seknas) Serikat Boemi Poetra, Ir. Abdullah Rasyid, M.E., pada sesi diskusi via jaringan dengan kalangan wartawan, Kamis, (30/5).
Dalam diskusi bertajuk “Bank Tanah Ujung Tombak Reforma Agraria” tersebut, Rasyid mengungkap hal yang lebih spesifik menjadi kewenangan Bank Tanah adalah menjamin ketersediaan tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan.
“Kewenangan itu tertera jelas dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 64 Tahun 2021,” beber aktivis yang juga Ketua Bidang Pengembangan Potensi Daerah Pengurus Pusat (PP) Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) ini.
Rasyid menjelaskan, keberadaan Bank Tanah sekaligus menjawab tantangan terbesar reforma agraria, yakni bagaimana rakyat bisa memiliki hak atas tanah secara berkeadilan, yang bernilai ekonomi dan mampu menggerakkan pendapatan berkelanjutan dari generasi ke generasi.
“In prinsip, dengan Bank Tanah, pemerintah menginginkan tanah-tanah di republik ini terkelola secara efektif dan efesien untuk menjamin ketersediaannya dalam rangka ekonomi berkeadilan,” simpul aktivis asal Kota Medan yang kini berdomisili di Jakarta ini.
Masih berlandaskan PP Nomor 64 Tahun 2021, sosok yang pernah menjabat Direktur Pengelola Komplek Kemayoran Sekretariat Negara (Setneg) ini menjabar fungsi yang dijalankan Bank Tanah dalam mewujudkan kewenangan khususnya. Fungsi dimaksud adalah perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian atas tanah.
Tentang capaian negara, mantan Staf Khusus Menko Perekonomian ini pun mengutip apa yang dituliskan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
“Mas AHY menuliskan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam hal pendaftaran bidang tanah kurun waktu tujuh tahun terakhir, yakni mencapai 250 persen. Dari semula 46 juta menjadi 112 juta bidang tanah,” sebutnya.
“Ini setidaknya cukup mereduksi praktik-praktik para spekulan dan mafia tanah, serta penyebab konflik tanah lainnya,” pungkas Rasyid. [nfa]