Desanesia. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh melalui UPTD Museum Aceh menggelar pameran koleksi wastra (kain tradisional) hingga akhir tahun. Pameran itu sebagai bentuk pelestarian kebudayaan yang ada di Aceh.
Pameran tersebut berlangsung di Gedung Temporer Museum Aceh mulai hari ini, Senin (15/7). Koleksi wastra yang dipamerkan berasal dari Aceh dan sembilan provinsi lainnya.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Almuniza Kamal, menyebutkan, ada sebanyak 58 koleksi wastra (kain tradisional) dunia sampai dengan Aceh yang ditampilkan sebagai bentuk pelestarian kebudayaan. Wastra di Aceh sudah ada sejak abad ke-16 dan kualitasnya saat itu mampu mengalahkan sutra India dan Tiongkok.
“Sutera waktu itu sebagai diplomasi budaya antara Aceh, India, dan Cina. Selain itu nilai tukar sutera Aceh lebih tinggi dibandingkan Cina sehingga menjadi sebuah kebanggaan,” kata Almuniza.
Selain itu, sambung Almuniza, pada Abad ke-18, wanita di Aceh telah menggunakan wastra sebagai penutup kepala (tutup ulei) yang disebut sebagai kain 12 hah. Kain itu menjadi ciri khas karena terdapat motif tentang kalimat Allah yang menunjukkan dari dulu orang Aceh sudah sangat menjaga auratnya.
“Mudah-mudahan pameran ini menjadi stimulus awal bagi masyarakat yang mencintai dunia tekstil model ataupun tentang wastra untuk mengembalikan masa kejayaan Aceh” sebut Almuniza.
Almuniza menjelaskan, untuk menggaet generasi milenial, Disbudpar meminta semua pihak untuk dapat menyebarluaskan tentang pameran wastra yang sedang berlangsung di Museum Aceh.
“Semua informasi-informasi yang ditampilkan di sini dibuat flyer dan kita akan menggunakan teman-teman influencer untuk menyampaikan tentang pameran ini minimal tersadarkan dululah anak-anak muda Aceh bahwa potensi yang dimiliki Aceh sangat-sangat hebat dan mereka harus tahu,” jelas Almuniza.
Dosen Prodi PKK (Tata Busana), FKIP Universitas Syiah Kuala, Novita yang menjadi narasumber pada kegiatan kajian ragam koleksi Musem Aceh, menyebutkan, wastra merupakan nama lain dari kain tradisional khas Indonesia. Sebutan wastra berasal dari Bahasa Sansekerta yang artinya kain.
Novita menjelaskan jenis wastra Indonesia di antaranya adalah kain tenun songket Aceh yang merupakan warisan leluhur masyarakat Aceh.
“Pada masa Kesultanan Aceh Darussalam raja mewajibkan bagi wanita Aceh untuk mengajar dan belajar membuat tenun. Terutama keahlian dalam menenun kain sutera, menjahit, menyulam dan melukis bunga-bunga pada kain, pakaian dan barang lainnya,” ungkap Novita.
Menurut Novita, dalam adat Aceh dahulu, gadis-gadis yang tidak mahir menenun sangat dicela dalam masyarakat dan dianggap sebagai perempuan yang tidak cakap dalam kehidupan. Motif wastra Aceh kebanyakan terinspirasi dari tumbuh-tumbuhan, benda, alam, hewan, serta makanan.
“Hal ini tercermin dalam hadih maja (peribahasa Aceh): “tayue peu-ek ie beukah tayeuen, tayue pok teupeun keundo asoe” (disuruh mengangkat air pecah tempayan, disuruh menenun kendur kainnya),” sebut Novita. [nfa]